Munculnya nama Desa Batununggul berawal dari cerita Brahmana Buncing (dimana buncing memiliki makna kelahiran kembar laki dan perempuan ) yang berasal dari Griya Anyar Pejeng, Gianyar, Bali. Pada masa itu, dengan kekuatan gaib yang dimilikinya, beliau mengadakan Dharmayatra ke Nusa Gurun yang kemudian disebut dengan nama Nusa Penida. Ketika sampai di semenanjung Nusa Gurun, Brahmana Buncing melakukan semedi memohon petunjuk kepada Ida Sang Hyang Widhi dan kemudian Brahmana Buncing menancapkan tongkat wasiat yang terbuat dari kayu cemara di bumi semenanjung Nusa Gurun. Sejak itulah semenanjung Nusa Gurun disebut semenanjung Cemara sampai sekarang. Kemudian Brahmana Buncing melanjutkan perjalanan ke selatan untuk melihat desa Pejeng dari kejauhan. Setelah sampai di bebukitan yang sangat rimbun dan sejuk, yang bernama Tegoh Kori dan sekarang tempat tersebut disebut MAOS. Dari tempat tersebut Brahmana Buncing baru dapat melihat kekayonan yang ada di Desa Pejeng, kemudian Brahmana Buncing membuat pesraman sebagai tempat meditasi kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar mendapat petunjuk. Setelah beberapa lama berada di Tegoh Kori, Brahmana Buncing melanjutkan perjalanan ke Bukit sebelah barat dimana dirasakan jauh lebih sejuk dan nyaman dengan pepohonan yang rindang dan besar untuk melakukan tapa semedi dan sekaligus mengucapkan Weda melalui nyanyian - nyanyian Tuhan. Brahmana Buncing kemudian menetap untuk mendirikan pasraman dan membuat penghayatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, semenjak itulah Brahmana Buncing menyebut bukit tersebut dengan sebutan nama Bukit Maos, disebut Maos karena setiap saat tempat itu dipakai untuk memaos atau mekekawin dan sejak itulah Brahmana Buncing disebut Brahmana Maos karena kerja sehari harinya menyanyikan nyayian Tuhan dengan mempergunakan Genta, sehingga lama kelamaan Penduduk asli Nusa Gurun yang berada di sebelah timur maupun di sebelah utara yang merupakan penduduk asli atau bali mule merasa terganggu mendengarkan suara genta serta nyanyian –nyanyian dari Brahmana Maos, maka oleh penduduk asli Nusa Gurun Brahmana Maos dilaporkan kepada raja yang bernama Pan Grayam yang berkuasa pada saat itu diNusagurun.
Sejak itulah Brahmana Maos terus diganggu setiap melakukan upacara keagamaan, sebab penduduk asli tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh brahmana Maos, karena dianggap tidak sesuai dengan adat dan kebiasaan leluhurnya . Segala kegiatan serta ajakan untuk menjalankan kegiatan keagamaan sesuai dengan ajaran WEDA oleh Brahmana Maos slalu ditentang dan diganggu terus menerus .Tidak sampai disana ,ketu kebesaran yang dipergunakan oleh Brahmana Maos diminta untuk dijadikan pembungkus mulut sapi agar sapinya tidak memakan rumput bila dipakai membajak serta penghinaan - penghinaan lainnya.Karena merasa kewalahan menghadapi gangguan dan hinan serta diusir oleh penduduk Nusa asli, akhirnya Brahmana Maos melarikan diri ke Desa Saren dan kemudian di Desa Saren Brahmana Maos menetap sementara.
Terdengarlah bahwa penduduk Nusa asli yang berada di Desa Batu Adeg telah dapat dikalahkan oleh I Dewa Kaleran bersama Dukuh Puaji, maka Brahmana Maos melanjutkan perjalan ke Desa Batu Adeg mohon bantuan kepada I Dewa Kaleran bersama Dukuh Puaji. Sesampainya Brahmana Maos di Desa Batu Adeg, diterima baik oleh I Dewa Kaleran dan Dukuh Puaji dan kemudian Brahmana Maos menceritakan panjang lebar atas keberadaannya di Bukit Maos dan kebrutalan yang dilakukan penduduk Nusa asli yang berada di sbelah Timur yang jumlahnya cukup banyak bahkan semua keluarganya akan dihabisi jika melawan, kemudian Beliau meminta bantuan kepada I Dewa Kaleran dan Dukuh Puaji untuk menyerang penduduk nusa asli yang ada di Sebiah.
Mendengar cerita dari Brahmana Maos yang sangat memperihatinkan serta perlakuan yang tidak manusiawi dilakukan oleh penduduk Nusa asli, akhirnya I Dewa Kaleran bersama Dukuh Puaji bersedia membantu Bramana Maos, namun sebelumnya I Dewa Kaleran bersama dengan Dukuh Puaji mohon waktu untuk menghadap kepada raja swecapura, agar diberi bantuan baik berupa tenaga maupun peralatan secukupnya, mengingat keberadaan penduduk Nusa asli di sebelah timur cukup banyak. Dalam waktu singkat I Dewa Kaleran dan Dukuh Puaji pergi ke kerajaan swecapura untuk menyampaikan kejadian yang ada di Nusa Gurun dan sekaligus menceritakan keprihatinan Brahmana Maos di Nusa Gurun untuk minta bantuan melawan serangan - serangan dilakukan oleh penduduk Nusa asli, pada waktu itu swecapura masih dipegang oleh Dalem Pemayun ( Dalem Bekung ).Menindalanjuti laporan tersebut ,Raja swecapura melaksanakan sidang dibantu oleh pamannya yaitu I Dewa Gedong Arta, dalam persidangan diputuskan oleh raja bahwa I Dewa Timbul beserta anaknya yang sangat teguh dan pembrani.Sebelum I Dewa Kaleran beserta I Dewa Timbul dan pengikut lainnya berangkat ke Nusa gurun,Raja memberikan bantuan perbekalan dan perlengkapan perang serta sebilah keris luk tiga kepada I Dewa Tanggan.
Pada hari baik, bulan baik yang diperhitungkan menurut Wariga, Dukuh Puaji, Ni Luh Puaji, I Dewa Kaleran dan I Dewa Tanggan berangkat ke Nusa Gurun sekitar pertengahan tahun 1553 M, lantaran musim “angin selatan “ yang datang dari arah tenggara bertiup angin kencang di samping arus air kearah barat begitu kuat, mengakibatkan rakit yang mereka tumpangi akhirnya mendarat bukan di tujuan semula, mereka terpaksa menginap , kemudian Dukuh Puaji membuat sebuah pelinggih disana dan keesokan harinya beliau melanjutkan perjalanan .Pelinggih ( bangunan Suci tempat pemujaan) tempat mereka menginap itu, kemudian hari makin lama makin berkembang dan dikenal dengan nama Pura Puaji, daerah di mana pura itu didirikan di beri nama Jungut Batu Istilah “ Jungut “ artinya Sudut oleh karena lokasinya di sudut Nusa Gurun predikat “ Batu” diberikan lantaran disana di jumpai banyak sekali batu
Setelah pekerjaan membuat pelinggih itu selesai, mereka melanjutkan pelayaran kearah timur dan mendarat di pantai Bias Muntig, perjalanan di lanjutkan dengan berjalan kaki ke arah timur lalu membelok keselatan, akhirnya mereka tiba di rumah Dukuh Puaji di Batu Madeg, di sambut oleh Brahmana Buncing alias Brahmana Maos, dengan disaksikan oleh Sang Barhmana dan yang lain - lain, maka sesuai dengan janjinya, Dukuh Puaji menyerahkan putrinya kepada I Dewa Kaleran untuk dijadikan istri beberapa hari kemudian Brahmana Buncing, I Dewa Tanggan,I Dewa Kaleran ,dan Ni Luh Puaji meninggalkan Batu Madeg pergi menuju Maos.
Diceritakan bahwa setelah tiba di Maos, mereka menemukan Pasraman dan tempat suci milik Sang Brahmana tersebut dalam keadaan hancur,mengingat jumlah orang Bali Mula/Bali Aga tidak sedikit dan mersa tidak seimbang antara para Satrya untuk menghadapi Bali Mula sehingga mohon kepada Dukuh Puaji agar mendatangkan saudaranya lagi, maka datanglah I Dewa Anom, I Dewa Pesawahan, dan I Dewa Sumerta, segerah terjadi pertempuran yang berlangsung di sebelah utara Maos, karena hanya berbekal senjata seadanya, disamping kurang pengetahuan dan pengalaman dibidang pertempuran, maka pihak Bali Mula /orang Bali Aga banyak tewas dan luka -luka, tanah menjadi basah oleh darah segar, mereka yang masih hidup akhirnya melarikan dir untuk menyelamatkan diri .Tempat di mana terjadi pristiwa berdarah di namai labuh getih.
Selang beberapa bulan kemudian peristiwa berdarah tersebut mulai di lupakan orang, dengan cara pendekatan yang bijaksana akhirnya Sang Brahmana berhasil membina hubungan baik dengan warga dusun di sebelah timur Maos situ. Setelah keadaan Maos menjadi aman,I Dewa Tanggan,I Dewa Kaleran dan Ni Luh Puaji, I Dewa Anom , I Dewa Pesawahan dan I Dewa Sumerta berpamitan kepada Sang Brahmana Buncing. Sesuai dengan janjinya terdahulu, Sang Brahmana menyerahkan tanah (pelemahan) di sebelah utara Maos, dengan batas - batas sebagai berikut:
Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Sang Brahmana, rombongan para Satrya itu berjalan lurus kearah utara dari maos sampai dekat pantai. Dilokasi itulah mereka membangun rumah, I Dewa Kaleran membangun sebelah timur di namakan Jero Puaji, untuk menghargai kesetian Ni Luh Puaji dalam suka dan duka selama dalam perjalanan panjang mereka dari Gelgel sampai di Jungut Batu, lalu Batu Madeg, kemudian ke Maos, kemudian membuat pemukiman ditempat tersebut.Rumah yang ditempati I Dewa Kaleran di namai Jero Puajim Sedangkan rumah I Dewa Tanggan di kenal dengan nama Jero Bedauh termasuk rumah milik I Dewa Sumerta, rumah milik I Dewa Anom bernama Jero Geria Kedaton kemudian I Dewa Anom di dwijati dan sekarang I Dewa Anom mendapat tambahan nama I Dewa Anom Bujangga. Rumah milik I Dewa Pesawahan bernama Jero Rejeng. Setelah masing - masing mempunyai rumah sendiri ,selanjutnya dijemputlah anak dan istrinya ke Klungkung untuk di ajak menetap di Nusa Gurun. I Dewa Kaleran resmi menikah dengan Ni Luh Puaji lebih kurang tahun 1553 M. Upacara Pernikahan di hadiri oleh sanak saudara I Dewa Kaleran, Ki Dukuh Puaji berserta istrinya beliau dan sejumlah orang dari Batu Madeg, upacara pernikahan tersebut dipuput oleh Brahmana Maos.
Beberapa tahun kemudian setelah Putra - Putri I Dewa Kaleran dewasa, yaitu lebih kurang tahun 1580 M, mereka semua sepakat untuk membangun Pura, I Dewa Anom Bujangga bertindak sebagai penasehat, lokasi di pilih diatas bukit di sebelah selatan Jero Puaji pada bukit /gundukan tanah yang tinggi terdapat tiga buah Batu, Batu yang besar dan tinggi terdapat disebelah timur disinilah di dirikan Pelinggih pertama Adapun Pura ini di bangun sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sanghyang widhi beserta manisfestasinya agar beliau memberikan perlindungan. Kemudian di beri nama Batu / Watu unggul ( Pura Batu Nunggul ) sesuai dengan arti Sila Jaya. Sila berarti Batu, Jaya berarti Unggul Pujawalinya piodalannya hari rabu Wage Wuku merakih yaitu bertepatan dengan saat kedatangan mereka dari Maos. Sebatang pohon kayu besar yang sudah mati yang di ketemukan di bawah batu besar tersebut kemudian di jadikan Kentongan.
Setelah dibangunnya pura tersebut, Pan Granyam Rajanya Orang Bali Mula/Bali Aga mencari gara-gara dengan I Dewa Anom Bujangga, ketika I Dewa anom Bujangga melakukan Nyuryasewana waktu pagi hari dengan memakai genta/bajra dan menggunakan tutup kepala “ Ketu “ memang dasar anti terhadap ritual keagamaan seperti yang di lakukan oleh I Dewa Anom Bujangga setiap hari, datanglah Pan Granyam ketempatnya I Dewa Anom Bujangga ( Geria Kedaton ) dia menyatakan ingin meminjam genta untuk dipasang di leher sapinya yang tidak memakai kokokan, dan sekalian meminjam Ketu untuk dipasangkan dimulut sapinya dengan begitu si sapi tidak bisa lagi megaet dedaunan kanan kiri saat dipakai membajak mendengar permintaan menyeleneh bahkan melecehkan, I Dewa Anom Bujangga mengatakan, bahwa genta dan ketu itu sangat berat dan dipastikan Pan Granyam tak akan mampu untuk mengangkatnya sendiri, oleh Karena itu dia disuruh pulang dulu untuk mengumpulkan semua anak buahnya dan mereka supaya datang keesokan harinya dengan membawa senjata tajam.
Keesokan harinya Pan Granyam beserta puluhan anak buahnya datang dengan persenjataan berupa golok, parang, tombak, dan sebagainya. Kedatangan mereka di perbatasan timur yang sekarang di sebut Desa Batununggul itu disambut oleh para Kesatrya yang juga sudah siap dengan keris pusaka dan senjata tajam lainnya. Pertempuaran segara terjadi.Tak berselang lama korban - korban mulai berjatuhan ada yang luka - luka dan ada yang tewas, I Dewa Tanggan yang melihat Putra kesayangannya tewas ( I Dewa Sara ) dalam pertempuran itu lalu menjadi sangat marah dan kalap beliau yang kebal terhadap senjata tajam itu mengamuk dengan amat braninya sehingga melukai dan menewaskan beberapa orang musuh, Pan Granyam juga akhirnya terluka setelah perutnya kena tikam keris sehingga usus terburai, melihat bahwa pimpinannya ( Pan Granyam ) luka parah lalu tewas ,maka sisa pengikutnya yang masih hidup segera melarikan diri kembali ke Sebiyah.
Setelah perang usai beberapa bulan berikutnya Pembangunan Pelinggih / Pura ke dua dibuat di atas batu yang berlokasi di punggung sebelah barat bukit, Pura ini dinamai Pura Taman Ayun , lantaran di dekatnya ada air tergenang berbentuk taman ( pada waktu itu ) Puja Walinya di tetapkan hari sabtu Keliwon wuku landep, mengingat pada waktu mereka berbeperang melawan penduduk asli itu semua membawa senjata tajam, di mana kata “ Landep “ berarti lancip atau tajam.
Pelinggih ke tiga dibuat dan di pasang diatas batu yang berlokasi di punggung sebelah utara bukit. Pura ini di namai Pura Gunung Jaya Sakti, lantaran mereka datang dari gunung “ jaya “ berarti menang dan “ sakti “ berarti tidak mempan senjata tajam. Puja walinya ditetapkan hari sabtu umanis Wuku watu Gunung, ketiga kompleks Pura tersbut di namai Pura Tri Sakti, mengingat jumlahnya tiga dan sesuai pula dengan nama kris pusaka pemberian I Da Dalem.
Di Ceritakan pula pada I Da Dalem Sagening naik tahta mengantikan Dalem Pengharsa Bekung pada tahun 1580 M. Baginda membenahi keadaan di Gelgel yang ditinggalkan oleh Dalem Bekung, baik dibidang fisik maupun mental priyayi dan para pejabat kerajaan maupun rakyat biasa, rasa saling curiga satu sama lain di hapus, orang sipil di larang membawa senjata tajam ,Kehidupan mesum dan pencabulan dibrantas barang siapa kedapatan berbuat selingkuh, di hukum mati.
Pada masa awal Pemerintahan Dalem Segening itu, Baginda memerintahkan Ki Yayi Wartaka ke Nusa Gurun, dengan tugas menjadi Pengawa untuk menertibkan keadaan di Nusa Gurun pada waktu itu I Dewa Kaleran Puaji menjadi Bendesa Batununggul, semenjak inilah wilayah yang dipimpinnya dinamakan Batununggul mengambil dari batu yang besar berdiri tinggi sebagai tempat Pelinggih atau Pura Sila Jaya. Untuk pelaksanaan tugas-tugas administrasi, di angkat seorang Juru tulis bernama Pande Mas yang berasal dari Desa Rendang, salah satu tugas yang harus dikerjakan pada waktu itu adalah membangun sebuah Pesanggarahan untuk dipakai I Da Dalem mana kala baginda berkunjung ke Nusa Gurun, lokasinya telah ditentukan oleh Ida Dalem sendiri yaitu di tanah Mentig, pembangunan Pesangrahan ynag cukup besar itu dikerjakan oleh banyak orang sehingga selesai dalam waktu singkat selanjutnya Pande Mas, yang sebelumnya menumpang tinggal di jero Puaji di suruh membuat rumah tempat tinggalnya sendiri lokasinya di tetapkan di sebelah timur Tanah Mentig, berhubung Jabatan Pande Mas adalah juru tulis, maka tempat tinggalnya itu kemudian dikenal dengan nama Penyarikan.
Dengan selesainya Pesanggarahan itu I Da Dalem mengadakan kunjungan singkat ke Nusa Gurun, Baginda diiringi oleh sejumlah pejabat kerajaan perjalanan dilakukan melalui Kusamba lalu tiba di tanah Mentig dan disambut oleh ratusan orang penduduk I Da Dalem diantarkan ke Pesanggarahan yang baru selesai di buat, Baginda menginap disana hanya se malam, kemudian berangkat kembali ke Gelgel ke esokan harinya.
Menyusul kunjungan I Da Dalem tersebut , dipandang perlu mengangkat seorang pejabat untuk menegakkan hukum dan ketertiban seperti yang dilakukan di Gelgel, misalnya ada seorang wanita yang kedapatan berselingkuh dengan seorang laki maka lelaki itu harus segerah di tangkap dan dibunuh, sedangkan si perempuan dibuang ke tengah laut, setelah mempertimbangkan segala sesuatu termasuk kwalifikasi orang yang akan dipilih , Baginda akhirnya mengangkat I Dewa Rai di ijinkan untuk tinggal di pesanggrahan yang baru selesai di buat, karena tempat tinggal I Dewa Rai itu besar maka dinamai Jero Gede.
Dalam perkembangan berikutnya masing - masing para satrya jumlah KKnya semakin bertambah sehingga setiap pemukiman para satrya terbentuk Banjar seperti adanya Banjar Geria Ke Daton,Banjar Nyaran,Banjar Jero Puaji ,Banjar Rejeng,Banjar Geria Tengah,dan Banjar Jero Bedauh pada masa penjajahan Belanda mulai merintis perkebunan kelapa di Desa Penida, dan untuk gampangnya dalam membuat surat transaksi laporan dan lain sebagainya serta untuk cepat proses kerjanya masing - masing Banjar ada pada pemukiman para satrya di jadikan satu banjar yang di ambil juga dari nama tempat Pura atau Pelinggih yang berada diatas batu besar berdidri tinggi yaitu Sila Jaya yang berarti Batu nunggul ( watu atau unggul ) pada waktu terbentuknya Pemerintahan Desa Dinas ( Perbekelan) yang pertama dipimpin Oleh I DEWA KETUT REMPUH dari Banjar Geria Tengah, nama Desa Perbekelan juga ngambil nama Batununggul. Sedikit perlu juga diketahui nama Nusa Gurun dipakai sebelum dan selama jaman kerajaan Gelgel bahkan berlanjut hingga munculnya jaman kerajaan - kerajaan kecil di Bali Nama Nusa Gurun berubah menjadi Nusa Penida yaitu setelah kerajaan Klungkung di taklukkan Belanda tahun 1908 M.
Demikianlah sejarah singkat Nama Desa Dinas Batununggul, apabila dalam penyusunan sejarah ini ada kekurangan , mohon masukan untuk penyempurnaan tentang sejarah Desa Batununggul ,karena keterbatasan data dan informasi
Penulis Sejarah I DEWA GEDE SUARTA, SPd. Tahun 2020
Sumber Pustaka ;
-pustaka pribadi idewa putu Banjar(Beng-Gianyar)
Dari Pengelingsir Br.Batununggul Tahun 1984
Nama - nama Perbekel